Kiai dengan pemikiran Tak Sederhana: Abah KH Amin Sholeh
Mengenal lebih dalam KH Amin Sholeh, Pendiri Pondok Pesantren, MTs, MA Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara. Siapa yang tak mengenal nama KH Amin Sholeh? Hampir semua orang Jawa Tengah mengenalnya. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisan yang dimuat di media cetak terbitan Semarang berkomentar tentang sosok Mbah Amin: “Kiai Amin itu tenang, hujahnya kuat, prinsipnya teguh, tetap demokratis”. Menurut mantan Gubernur Jateng Ali Mufiz, ungkapan Gus Dur tentang Mbah Amin tidak berlebihan. “Mbah Amin itu sosok yang sangat tawadhu dan tanggung jawabnya luar biasa,” kata Ali Mufiz dalam upacara haul kelima KH Amin Sholeh di Jepara.
Kiai Amin memang sudah wafat, tetapi rekam jejak kealiman, keulamaan, dan kebaikan-kebaikannya tak lekang oleh zaman dan waktu. Menurut salah satu putranya, KH Nuruddin Amin (Gus Nung), Kiai Amin adalah putra pasangan KH Sholeh bin Amin, dan Nyai Hj Azizah binti KHR Asnawi (anak kedua dari Nyai Hj Hamdanah) dari Kudus yang lahir pada Senin, 20 April 1931 M di Desa Tayu Pati bertepatan 2 Dzulhijjah 1349 H.
Dia adalah seorang putra tertua dari tiga bersaudara – keturunan Kiai Sholeh, yakni KH Amin Sholeh, Hj Muflihah Sholeh, dan KH Abdul Mujib Tayu Pati. Dari garis keturunan ibu, Kiai Amin adalah keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan dari Syekh Mutamakkin Kajen Margoyoso Pati, karena sejumlah kalangan banyak yang meyakini KHR Asnawi adalah keturunan Syekh Mutamakkin.
Setelah pensiun dari Ketua Pengadilan Agama Kudus, hampir sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengelola pesantren, menjadi pengurus NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sederet catatan karirnya yang cemerlang
Hakim Agama (1962-1964), Wakil Ketua PA (1964-1973), dan Ketua PA Kudus (1973-1989). Di tengah-tengah kesibukan itu, dia menjadi Pengasuh Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri dari tahun 1971-2002. Menjadi Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara (1983-1985), Wakil Rais PWNU Jateng (1985-1989), dan Rais PWNU Jateng selama tiga periode (1989-2002) hingga wafat tahun 2002 pada usia 71 tahun. Menjadi Ketua Umum MUI Jepara (1989-2001), Ketua Umum MUI Jateng (2001-2002). Mbah Amin juga tercatat pernah menjadi Dekan Fakultas Syariah Inisnu Jepara (1989-1999), dan dosen tamu di IAIN Walisongo Semarang.
Dalam buku ‘Jejak Perjuangan Mbah Amin Sholeh’ mantan Gubernur Jateng H Ali Mufiz menulis, “Saya kenal beliau sejak 1990. Ketawadluan dan tanggung jawabnya luar biasa. Beliau juga sangat perhatian terhadap pendidikan”. Pernah pada saat menghadiri acara di Kodam IV/Diponegoro, Mbah Amin tidak berkenan duduk di depan. Meski seorang tokoh, dia tidak menduduki kursi kecuali kursi itu untuknya. Hal ini menunjukkan sifat tawadluknya yang sangat tinggi
KH.Mc Amin Sholeh yang disapa “Abah” oleh para santrinya itu lahir Tayu, Pati 20 April 1931. Ketika masih nyantri di Lasem, Kiai Amin Sholeh tidak mondok di pesantren milik Kiai Baidlowi, tapi kiai sepuh karismatik itu menyuruhnya mulang (ngajar) di pesantrennya. Begitu kisah Kiai Maemoen Zubeir yang ketika itu sama-sama nyantri di Lasem saat memberi mau’idhah hasanah pada upacara pelepasan jenazah Rais PWNU dan Ketua Umum MUI Jawa Tengah itu di hadapan ribuan pelayat.
Mbah Baidlowi Lasem bersama Mbah Maksum adalah tokoh kiai sepuh yang sangat disegani, karena ilmu dan amaliahnya. Kiai yang sangat dihormati para kiai lain tidak hanya di Jawa Tengah saja itu meminta Kiai Amin (yang notabene waktu itu masih berstatus nyantri) untuk mengajar di pesantrennya, sudah bisa menunjukkan kapasitas keilmuan tokoh sederhana dari Bangsri itu.
Di banyak konferensi dan muktamar, beliau selalu aktif mengikuti acara-acaranya. Biasanya beliau selalu hadir dan berperan di arena Bahtsul Masail, majelis yang membahas pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Di arena seperti itu, Kiai Amin kelihatan mencolok karena vokalnya dalam menyampaikan pendapat dan argumentasi.
Beliau akan mempertahankan pendapatnya sesuai dengan hujjah yang dimilikinya namun tidak ngotot. Apabila ada kiai lain yang hujjah-nya dianggap lebih kuat, dengan kesatria kiai Amin akan mengakui dan mengikutinya. Boleh jadi karena kealiman dan ketelitiannya dalam majelis-majelis seperti itu, kiai Amin hampir selalu ditunjuk sebagai salah satu tim perumus.
Kiai Amin yang pernah menjabat sebagai Kepala Pengadilan Agama dan hingga meninggal menjabat sebagai orang pertama di NU Wilayah dan di MUI Jawa Tengah, juga seorang tokoh yang tawadu. Beliau sudi dengan sabar mendengarkan pendapat orang lain, meski datangnya dari orang-orang yang lebih muda.
Tidak seperti kebanyakan pemimpin yang lain, Kiai Amin tidak hanya duduk-duduk saja di meja pimpinan sambil memberikan instruksi-instruksi. Tapi dia langsung terjun ke bawah mendatangi umatnya dengan kesetiaan yang luar biasa. Kepada umatnya dia berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pendidikan akhlak dan menjawab tanda-tanda tanya yang akhir-akhir ini banyak meresahkan mereka.
Dan semua itu dia lakukan dengan kasih sayang yang membawa kesejukan dan ketenteraman. Salah satu ungkapannya yang masih diingat santri-santrinya adalah ucapannya yang dinyatakan dengan nada kelakar, “Lebih baik bodoh ketimbang pandai tapi tidak bermoral.”
Perjuangan Kiai Amin Sholeh patut dijadikan teladan. PNS Depag Jepara itu pernah duduk sebagai Rais PWNU Jateng tiga periode berturut-turut hingga wafat tahun 2002 di usia 71 tahun dan ketua MUI Jateng.
KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) juga pernah menulis tentang kiai Amin. Beliau menganggap kiai amin adalah kiai yang tak neka-neka dan sederhana. Gus Dur pun mengakui sifat-sifat terpuji Kiai Amin, dan menyatakan sedikit orang yang bisa memegang tanggung jawab seperti ulama tersebut.